(PART 3) sEASON IN MY PARK : sOMETHING CHANGE
“Luhan mengajakmu Dinner?!” Bellva berkata dengan suara lantang nyaris berteriak saking shocknya.
“Sssttt!” Hyeon menenangkannya agar seisi kelas berhenti menghujam mereka dengan tatapan aneh. Setelah semua kembali ke tugasnya masing masing Hyeon kembali membuka pembicaraan, “Tidak, dia tidak mengajakku dinner, itu hanya acara makan malam biasa, kita sering melakukannya.”
“Hyeon.” Bellva menyebutkan nama Hyeon dengan ejaan yang benar, “Kenapa kau sepolos itu? Apa kau tak tahu bagaimana anak laki laki itu?”
Hyeon menggeleng.
“Mereka sangat tidak mudah ditebak.” Tambah Bellva kemudian melanjutkan tugasnya sebelum Mr. Rick datang.
Hyeon juga melakukan hal yang sama. Hanya saja dia tidak sepenuhnya fokus mengerjakan soal. Pikirannya melayang membawanya kepada sahabat masa kecilnya itu. Sudah beberapa kali Luhan mengajaknya makan, nonton film, dan hal hal yang dilakukan orang pacaran lainnya. Tapi tetap saja, sebatas teman. Sebenarnya Hyeon menginginkan yang lain, hanya saja ia tak berani mengakuinya. Bahkan dirinya sendiri. Tanpa sadar ia menoleh ke tempat duduk kosong di belakangnya.
“Kau merindukannya?” tanya Bellva tiba tiba.
Hyeon kaget, dengan sigap ia kembali menghadap bukunya dan mulai mengerjakan soal walaupun ia belum paham betul apa maksud dari soal itu, “Tidak juga.”
Bellva tertawa, “Oke oke... kalian sudah bersahabat selama dua belas tahun. Ber-sa-ha-bat!”
-XXXXXX-
Sehun menarik nafas panjang. Mencoba mengerjakan soal yang ada di depannya dengan fokus. Tapi sia – sia, pikirannya melayang ke bangku di seberang tempat duduknya. Apalagi sejak tadi gadis yang menduduki bangku itu tertawa cekikikan dengan teman sebangkunya sehingga membuat Sehun penasaran. Apa yang sedang mereka bicarakan? Anak laki – lakikah?
“Hyeon gi... berhentilah mengganggu konsentrasiku.” bisik Sehun dalam hati.
“OH MY PANTS! Soal ini membuatku gila!!” teriak Chanyeol sambil memegangi kepalanya.
“SSSTTTT!!!!!” seisi kelas menempelkan jari telunjuknya di bibir sambil menatap tajam ke arah Chanyeol.
“Sorry.” Kata Chanyeol singkat, “Kamu bisa? Nomer lima?” tanya Chanyeol pada Sehun yang ada di samping kanannya.
Sehun hanya melirik Chanyeol. Itu tandanya, tidak ada contek menyontek. Kalau seperti itu, Chanyeol tidak berkutik lagi.
“Hhhmm... coba Luhan nggak absen. Dia pasti mau ngasih contekan.” Dengus Chanyeol sambil melihat bangku kosong di seberang tempat duduknya.
Sehun menarik nafas panjang.
“Hei Andrew. Berapa hari Luhan absen?” tanya Chanyeol pada Andrew yang duduk di sebelah kanannya.
“Mungkin tiga sampai empat hari. Tulangnya tidak begitu beres.” Jelas Andrew, teman sebangku Lu Han.
Sehun sedikit tersentak mendengar pembicaraan Chanyeol dan Andrew. Kakinya terkilir? Tidak akan berangkat beberapa hari? Harus aku merasa senang? Tidak. Jangan berpikiran seperti itu. Tapi paling tidak, ada beberapa hari untuk mendekati Hyeon. Paling tidak. Ya. Hanya seperti itu.
-XXXXXX-
Pulang sekolah, Hyeon tidak langsung pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk mengunjungi Luhan dan bersiap menertawakannya dengan keras karena dia pasti bosan hanya duduk dan berbaring seharian di rumah. Sebelum itu, ia mampir ke toko cupcake langganan mereka. Membeli beberapa cupcake lalu melanjutkan perjalanan.
Jarak rumah Luhan dari sekolah tak begitu jauh. Tak kurang dari sepuluh menit ia sudah sampai di depan sebuah rumah bercat cream dengan arsitektur yang tidak sama dengan rumah di kanan dan kirinya. Hanya saja, siang itu rumah Luhan lebih ramai dari pada biasanya.
Hyeon mengamati satu persatu mobil dan motor yang terparkir di halaman.
“Hem, beberapa anak populer. Mungkin dia sedikit tenar sekarang.” Batin Hyeon geli di dalam hati.
Benar saja, saat ia masuk suasana rumah tak seperti biasanya. Memang jam jam seperti ini Ayah dan Ibu Luhan belum pulang dari kerja. Hyeon mengendap endap masuk ke dalam.
“Wah, tumben anak anak sombong itu menjenguk anak biasa seperti Luhan.” Batin Hyeon, “Oh, mungkin karena pertandingannya kemarin.”
Di ruang tengah, Luhan duduk di Sofa bersama anak anak yang lain.
“Loo Han! Apa itu rasanya sakit sekali?” tanya Kevin, cowok paling terkenal di sekolahnya. Karena wajahnya yang sempurna tentu saja.
Luhan mengangguk sambil menahan sakit.
“Apa kita boleh menandatanginya?” tanya si kembar Johny dan Dhanny dengan spidol di tangan.
“Jangan!” tahan Luhan segera.
“Oh, baiklah. Mungkin beberapa hari lagi.” Kata Johny, “Ayo Dhanny, sepertinya rumah ini keren.” Johny beranjak dan mulai berkeliling.
“Kau manis sekali, berapa umurmu?” tanya Donna sambil bergelayut manja di samping Luhan.
“Sama seperti kalian, tentu saja.” Jawab Luhan dengan polos.
“Tapi kau tampak lebih muda daripada kami.” Tambah Christ, anak populer yang lain. Semua tertawa.
“Apa kau pernah ke China?” tanya Donna sambil menyentuh pipi Luhan dengan sengaja.
Luhan membuat gerakan sedikit sebagai isyarat jangan memperlakukannya seperti itu, “Ya. Setiap liburan musim panas. Kita berkunjung ke sana.”
“Apa kau mengoleksi robot robotan murah dari China?” tanya Kevin dengan tatapan merendahkan.
Luhan menggeleng.
“Wo! Apa kau yang menyelesaikan ini?” Ben membuat semuanya kaget hanya dengan memegang sebuah rubrik yang sudah sama di semua sisinya.
“Iya.” Luhan mengangguk biasa.
“Berapa lama?”
“Em...” Luhan menimbang nimbang, “Dua menit, satu menit.”
“Tunjukan pada kami....” Donna mengambil alih Rubrik dari tangan Fred dengan paksa lalu mengacak acaknya, “Lakukan.”
“Tunggu dulu...” Kevin mengambil alih Rubrik yang hanya sekilas di pegang oleh Luhan itu, “Jika dia berhasil menyelesaikannya, apa yang akan kau berikan?”
Donna diam sejenak, “Aku beri satu ciuman.”
Seluruh ruangan gaduh.
“Asian boy.... lakukanlah.” Kevin menyerahkan kembali Rubrik itu.
Luhan menerimanya sambil tersenyum kecil, “Sudahlah... aku biasa melakukannya. Tak ada hadiahpun tak apa apa.”
“Jangan menolak! Siap.... mulai.” Ben menghitung waktu yang dihabiskan oleh Luhan dengan stopwatch yang ada di jam tangannya.
Luhan mulai mengerjakannya. Hanya saja lebih pelan daripada biasanya.
“Selesai! Ya! Satu menit lima detik.” Pekik Ben tepat saat Luhan menyelesaikan Rubriknya.
Donna mencium pipi Luhan tiba tiba.
Luhan sedikit tersentak dan jujur saja... dia ingat, dia berdarah asia. Bukan seperti itu budayanya.
“Waw waw waw.... apakah ciuman itu menyembuhkan kakimu?” si kembar Jhonny dan Dhanny kembali ke ruang tengah sambil memegangi Cupcake.
“Dari mana kalian dapatkan Cupcake itu?” Luhan balik bertanya tanpa mengingat apa yang baru saja terjadi.
“Dari si.. siapa?” Jhonny bertanya pada Dhanny, “Garden!” Dhanny menjawab asal, Jhonny menggeleng, “Bukan! Bukan Garden, em...” Jhonny menerawang sejenak, “Yard?” Dhanny menebak, “Bukan. Car... car... Parking! Park! Park, iya.. Park Yon siapa...” akhirnya Jhonny menemukan sedikit titik terang walaupun masih kurang tepat, Dhanny menggeleng pasrah.
“Park Hyeon Gi?” Luhan mencoba menebak.
“Bingo!” kata Jhonny Dhanny kompak, “Huh... Sulit sekali namanya.. Park Yon Gi.” Johnny menambahkan.
Luhan celingukan mencari cari sahabatnya itu, “Dimana dia sekarang?”
“Entahlah... dia datang membawa Cupcake ini. Lalu meletakkannya di meja makan. Kami minta beberapa dan dia membolehkan. Sungguh gadis Asia yang baik.” Celoteh Johnny.
Luhan bangun dan berjalan berjingkat jingkat menuju pintu depan. Tidak ada siapa siapa. Tapi melihat cupcake yang di bawa oleh si kembar Johnny Dhanny, itu adalah cupcake yang biasa mereka beli sepulang sekolah. Tapi kenapa Hyeon tidak mengatakan apa apa saat datang kerumahnya? Apa jangan jangan, dia melihat apa yang baru saja terjadi. Tapi kenapa?
-XOXOXOXOXOXO-
Hyeon berjalan pelan menuju rumahnya. Kejadian yang baru saja dilihatnya tidak bisa dengan mudah ia lupakan. Semua berputar berulang ulang seperti menghantuinya.
Hyeon tersenyum, “Gwencana...”
Ia berusaha menenangkan diri, lebih tepatnya menahan cairan bening itu keluar dari matanya, “Mwo? Untuk apa aku menangis.”
Hyeon berusaha tersenyum, kalau hal yang membuatnya sedih itu kembali teringat, ia segera mengingat janjinya dengan Luhan dua hari yang akan datang. Sudah lama mereka tidak ke Cafe itu. Banyak kejadian lucu di sekolah yang ingin dia ceritakan.
-XXXXXX-
Sehun menjalan pulang dengan malas. Tugas tambahan karena dia terlambat pagi ini membuatnya malas untuk melakukan semua hal. Essay tentang sahabat diketik dalam dua ribu kata.
“Yang benar saja, sahabat. Huh.” Kata Sehun pada dirinya sendiri.
Sebagai pelampiasan rasa kesalnya, ia menendang kaleng minuman yang sudah kosong hingga terlempar entah kemana.
“A!” pekik seseorang tak jauh dari tempat Sehun berdiri sekarang.
Sehun terperanjat, “Kaleng itu mengenai seseorang? Aku harap kepalanya.” Batin Sehun, “Mwo? Hyeon gi?!” Sehun lebih kaget saat melihat siapa yang terkena kalengnya, Hyeon memegangi lengan kanannya, “Hyeon gi-ya? Gwencana?”
“Ne... Gwencana...” jawab Hyeon.
“Mianhe...” kata Sehun dengan penuh rasa bersalah, “Jeonmal mianhe...” kata Sehun sekali lagi, “Ka-kau menangis?”
Hyeon mencoba menutup wajahnya dengan menunduk menghindari Sehun, tapi tetap saja Sehun mengikuti kemana wajahnya bersembunyi.
“Mianhe Hyeonnie...” kata Sehun dengan muka bersalah.
Hyeon mengusap bagian matanya, “Bukan salahmu Sehunna.”
Sehun terdiam sesaat, “Mianhe... tanganmu benar benar baik baik saja kan?” tanya Sehun sambil memeriksa lengan Hyeon yang tertutup jas.
Hyeon mengangguk.
“Kau mau pulang?” tanya Sehun.
“Mungkin.”
“Kenapa?”
“Sehunna? Apa kau sudah makan?”
Sehun menggeleng.
“Bagaimana kalau kita makan?”
-XXXXXX-
“Ku dengar kau masuk tim drama di sekolah?” tanya Hyeon saat selesai memesan makanan dan menyerahkan buku menu ke pelayan yang tidak penting untuk disebutkan ciri cirinya.
Sehun tertawa kecil, “Dari mana kau tahu itu semua?”
“Bellva.” Hyeon menjawab singkat, tapi tak lama di lanjutkan kembali, “Bellva juga masuk tim drama.”
Sehun yang awalnya tersenyum berubah menjadi datar, “Bellva juga masuk tim drama? Omo...”
Hyeon tertawa, “Kenapa? Kau takut di tendang?”
“Aku akan benar benar di tendang.” Kata Sehun sambil menatap keluar melalui etalase cafe sebentar lalu menatap Hyeon kembali, “Sehari sebelum pengumuman, dia berkata pada temannya ‘semoga aku masuk tim drama, aku benar benar menginginkanya’ lalu aku jawab ‘tidak mungkin. Kau lebih cocok jadi tim jagal.’ Oh tidak...”
Hyeon tertawa lepas, tak peduli beberapa pengunjung menatapnya. Melihat Hyeon tertawa, Sehun tersenyum.
“Pantas saja, beberapa hari ini dia melihatmu seperti ingin menerkammu. Ternyata seperti itu.” Kata Hyeon sambil menahan tawanya saat pelayan membawa nampan berisi pesanan mendekat ke arahnya.
“Thanks.” Kata Sehun saat Pelayan selesai menyajikan makanan di meja mereka.
“A... aku benar benar merindukan masakan korea..” kata Hyeon sebelum mulai makan.
“Aku juga.” Kata Sehun.
“Kau juga?”
Sehun mengangguk.
“Sejak kapan kau pindah ke sini?”
“Sejak aku lahir.” Kata Sehun sambil memulai makan.
“Waw, tapi bahasa koreamu bagus.”
“Tentu saja. Keluargaku memakai bahasa korea di rumah.” jelas Sehun.
Hyeon baru tahu semua itu.
“Tapi kau tak terlihat seperti orang asia.” komentar Hyeon.
Sehun melihat Hyeon sekilas, “Papaku Inggris, Eommaku yang korea. Kau salah, teman teman bilang aku tidak mirip orang Inggris sama sekali. Lebih mirip orang asia.”
Hyeon menyerngit.
“Bagaimana keadaan Luhan? Kamu tadi menjenguknya kan?” tanya Sehun.
Hyeon yang awalnya sudah mulai lupa dengan kejadian di rumah Luhan perlahan lahan menggerogoti pikirannya kembali, “O. Iya.. dia baik baik saja. Lebih baik malah.”
“Apa kakinya parah?”
Hyeon menggeleng, dan melanjutkan makannya.
Setelah selesai makan. Masalah lain datang. Hyeon dan Sehun bersih keras ingin membayar.
“Hei... anggap saja ini permintaan maafku.” Kata Sehun.
“Tidak, aku sudah memaafkanmu sejak sebelum masuk cafe ini. Aku yang mengajakmu makan jadi aku yang harus membayar.”
“Tidak, mana mungkin anak laki laki di traktir anak perempuan. Aku saja yang membayar.”
“Kau tidak pernah mendengar emansipasi. Aku saja Sehunna~.”
“Tidak Hyeonnie, sekali sekali tidak papakan? Aku saja...”
Perebutan siapa yang membayar tidak berhenti disitu. Pelayang yang menunggu di samping meja hanya bisa memasang muka masam karena menunggu dua orang di depannya bercekcok dengan bahasa yang tidak di mengertinya.
Setelah tak ada bahan lagi untuk membela diri, akhirnya Sehun yang berhasil memenangkan debat amatir ini. Sehun yang akhirnya membayar.
“Hahaha..” tawa Hyeon pecah saat keluar dari cafe.
“Kenapa?” tanya Sehun yang tertinggal beberapa langkah di belakang.
“Kau tak lihat bagaimana wajah pelayan itu?”
Sehun akhirnya tertawa juga.
“Mungkin sekali sekali kita bisa mengajarinya bahasa korea..”
“Benar juga.”
Langkah Sehun terhenti saat melihat toko yang baru buka hari ini.
“Buble tea...?” bisik Sehun tanpa mengalihkan pandangan dari toko itu, “Ayo...” Sehun menggandeng Hyeon untuk ikut mengantri membeli Buble tea.
“Kau suka buble tea?” tanya Hyeon dengan muka sedikit tidak percaya.
“Iya. Kenapa?”
“Aku juga.” Kata Hyeon sedikit bersorak riang, “Sejak kapan kau suka buble tea?”
“Sejak dulu. Aku dan temanku suka sekali membeli buble tea saat pulang sekolah.”
“Siapa temanmu? Chanyeol?”
“Bukan. Temanku saat kecil.”
“Dimana dia sekarang?”
Sehun terhenti, “Em? Sekarang? Entahlah... tapi aku rasa dia juga masih suka buble tea...”
“Mau pesan rasa apa?” tanya ibu ibu setengah baya saat Sehun dan Hyeon sampai di antrian paling depan.
-XXXXXX-
Luhan memegangi hpnya dengan perasaan tak karuan. Berulang kali ia menempelkan hpnya di telinga, dan tak ada jawaban dari seberang sana. Luhan akhirnya menyerah.
“Kemana kamu Hyeonnie?”
-XXXXXX-
Sampai di rumah, Sehun tidak langsung masuk ke kamar. Ia duduk di ruang keluarga sambil menatap langit langit ruangan itu dengan senyum yang tak terhenti sejak perjalanan pulang tadi.
“Tuan mau makan apa?” tanya pembantunya. Wanita tua, yang sudah menjadi pembantu senior di rumah itu. Maklum saja, wanita itu sudah merawat Sehun sejak kecil.
“Tidak. Aku sudah makan.”
“Baiklah kalau begitu, tuan.” Pembantu itupun pergi.
Sehun melepaskan jas dan mengendurkan dasinya.
Kriiing kriiing...
“Aku saja.” Kata Sehun saat salah seorang pembantunya mendekat untuk mengangkat telephon.
“Halo.”
“Halo.. Sehunna, kau sudah pulang?”
“Iya, ada apa eomma?”
“Maaf Sehunna, mungkin hari ini eomma akan pulang telat. Papamu juga, ada proyek besar yang harus ditangangi. Sementara persediaan kostum eomma terbatas, jadi..”
“Sudahlah Eomma, tak apa apa.”
“Sehunna?”
“Hem?”
“Kau kenapa? Apa kau sakit?”
“Tidak. Aku baik baik saja, lebih baik malah.”
“Biasanya kau marah kalau Eomma pulang telat.”
“Sekarang aku sadar Eomma, eomma bekerja juga untuk Sehun bukan?” bohong Sehun, sebenarnya ia bersikap seperti itu karena efek senang siang ini.
“O. Iya. Nanti malam, kau makan malam sendiri tidak apa apakan?”
“Tidak apa apa Eomma.”
“Ya sudah. Baik baik Sehunna.”
“Em.”
Setelah menutup telephon, Sehun mengumpat pelan. Menjadi anak desainer terkenal itu keberuntungan tersendiri, hanya saja menjadi anak yang kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja itu tidak pernah masuk daftar keinginan bagi Sehun.
-XXXXXX-
Sejak saat itu, semuanya berubah. Sekarang, banyak anak anak yang bermain ke rumah Luhan. Banyak yang mengunjunginya karena permainannya yang spektakuler beberapa hari yang lalu. Tapi Hyeon jarang mengunjunginya. Walaupun beberapa kali Hyeon berkunjung dan membawakan cupcake, tapi tak lama, beberapa anak populer datang dan keberadaan Hyeon tidak di perdulikan.
Hyeon merasa ada yang hilang dari hari harinya. Luhan yang selalu membuatnya tertawa kini sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Hyeon perlahan tidak mengkhawatirkan hal itu lagi. Ada Sehun yang biasanya pulang bersamanya. Membeli buble tea, atau sekedar menggoda pelayan cafe pertama kali mereka makan bersama dengan bahasa korea.
Begitu juga dengan Sehun. Ia yang sehari hari memasang joker face kini lebih sering tersenyum. Hidupnya sedikit berubah. Bukan bangun sarapan sekolah pulang les tidur. Tapi ada kegembiraan tak terduga di sela sela kehidupan biasanya. Berdua dengan Hyeon. Entah kenapa, rasanya sudah lama sekali ia menantikan saat saat seperti itu. Saat saat yang pernah ia lakukan sebelumnya. Beberapa belas tahun yang lalu tepatnya.
“Sssttt!” Hyeon menenangkannya agar seisi kelas berhenti menghujam mereka dengan tatapan aneh. Setelah semua kembali ke tugasnya masing masing Hyeon kembali membuka pembicaraan, “Tidak, dia tidak mengajakku dinner, itu hanya acara makan malam biasa, kita sering melakukannya.”
“Hyeon.” Bellva menyebutkan nama Hyeon dengan ejaan yang benar, “Kenapa kau sepolos itu? Apa kau tak tahu bagaimana anak laki laki itu?”
Hyeon menggeleng.
“Mereka sangat tidak mudah ditebak.” Tambah Bellva kemudian melanjutkan tugasnya sebelum Mr. Rick datang.
Hyeon juga melakukan hal yang sama. Hanya saja dia tidak sepenuhnya fokus mengerjakan soal. Pikirannya melayang membawanya kepada sahabat masa kecilnya itu. Sudah beberapa kali Luhan mengajaknya makan, nonton film, dan hal hal yang dilakukan orang pacaran lainnya. Tapi tetap saja, sebatas teman. Sebenarnya Hyeon menginginkan yang lain, hanya saja ia tak berani mengakuinya. Bahkan dirinya sendiri. Tanpa sadar ia menoleh ke tempat duduk kosong di belakangnya.
“Kau merindukannya?” tanya Bellva tiba tiba.
Hyeon kaget, dengan sigap ia kembali menghadap bukunya dan mulai mengerjakan soal walaupun ia belum paham betul apa maksud dari soal itu, “Tidak juga.”
Bellva tertawa, “Oke oke... kalian sudah bersahabat selama dua belas tahun. Ber-sa-ha-bat!”
-XXXXXX-
Sehun menarik nafas panjang. Mencoba mengerjakan soal yang ada di depannya dengan fokus. Tapi sia – sia, pikirannya melayang ke bangku di seberang tempat duduknya. Apalagi sejak tadi gadis yang menduduki bangku itu tertawa cekikikan dengan teman sebangkunya sehingga membuat Sehun penasaran. Apa yang sedang mereka bicarakan? Anak laki – lakikah?
“Hyeon gi... berhentilah mengganggu konsentrasiku.” bisik Sehun dalam hati.
“OH MY PANTS! Soal ini membuatku gila!!” teriak Chanyeol sambil memegangi kepalanya.
“SSSTTTT!!!!!” seisi kelas menempelkan jari telunjuknya di bibir sambil menatap tajam ke arah Chanyeol.
“Sorry.” Kata Chanyeol singkat, “Kamu bisa? Nomer lima?” tanya Chanyeol pada Sehun yang ada di samping kanannya.
Sehun hanya melirik Chanyeol. Itu tandanya, tidak ada contek menyontek. Kalau seperti itu, Chanyeol tidak berkutik lagi.
“Hhhmm... coba Luhan nggak absen. Dia pasti mau ngasih contekan.” Dengus Chanyeol sambil melihat bangku kosong di seberang tempat duduknya.
Sehun menarik nafas panjang.
“Hei Andrew. Berapa hari Luhan absen?” tanya Chanyeol pada Andrew yang duduk di sebelah kanannya.
“Mungkin tiga sampai empat hari. Tulangnya tidak begitu beres.” Jelas Andrew, teman sebangku Lu Han.
Sehun sedikit tersentak mendengar pembicaraan Chanyeol dan Andrew. Kakinya terkilir? Tidak akan berangkat beberapa hari? Harus aku merasa senang? Tidak. Jangan berpikiran seperti itu. Tapi paling tidak, ada beberapa hari untuk mendekati Hyeon. Paling tidak. Ya. Hanya seperti itu.
-XXXXXX-
Pulang sekolah, Hyeon tidak langsung pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk mengunjungi Luhan dan bersiap menertawakannya dengan keras karena dia pasti bosan hanya duduk dan berbaring seharian di rumah. Sebelum itu, ia mampir ke toko cupcake langganan mereka. Membeli beberapa cupcake lalu melanjutkan perjalanan.
Jarak rumah Luhan dari sekolah tak begitu jauh. Tak kurang dari sepuluh menit ia sudah sampai di depan sebuah rumah bercat cream dengan arsitektur yang tidak sama dengan rumah di kanan dan kirinya. Hanya saja, siang itu rumah Luhan lebih ramai dari pada biasanya.
Hyeon mengamati satu persatu mobil dan motor yang terparkir di halaman.
“Hem, beberapa anak populer. Mungkin dia sedikit tenar sekarang.” Batin Hyeon geli di dalam hati.
Benar saja, saat ia masuk suasana rumah tak seperti biasanya. Memang jam jam seperti ini Ayah dan Ibu Luhan belum pulang dari kerja. Hyeon mengendap endap masuk ke dalam.
“Wah, tumben anak anak sombong itu menjenguk anak biasa seperti Luhan.” Batin Hyeon, “Oh, mungkin karena pertandingannya kemarin.”
Di ruang tengah, Luhan duduk di Sofa bersama anak anak yang lain.
“Loo Han! Apa itu rasanya sakit sekali?” tanya Kevin, cowok paling terkenal di sekolahnya. Karena wajahnya yang sempurna tentu saja.
Luhan mengangguk sambil menahan sakit.
“Apa kita boleh menandatanginya?” tanya si kembar Johny dan Dhanny dengan spidol di tangan.
“Jangan!” tahan Luhan segera.
“Oh, baiklah. Mungkin beberapa hari lagi.” Kata Johny, “Ayo Dhanny, sepertinya rumah ini keren.” Johny beranjak dan mulai berkeliling.
“Kau manis sekali, berapa umurmu?” tanya Donna sambil bergelayut manja di samping Luhan.
“Sama seperti kalian, tentu saja.” Jawab Luhan dengan polos.
“Tapi kau tampak lebih muda daripada kami.” Tambah Christ, anak populer yang lain. Semua tertawa.
“Apa kau pernah ke China?” tanya Donna sambil menyentuh pipi Luhan dengan sengaja.
Luhan membuat gerakan sedikit sebagai isyarat jangan memperlakukannya seperti itu, “Ya. Setiap liburan musim panas. Kita berkunjung ke sana.”
“Apa kau mengoleksi robot robotan murah dari China?” tanya Kevin dengan tatapan merendahkan.
Luhan menggeleng.
“Wo! Apa kau yang menyelesaikan ini?” Ben membuat semuanya kaget hanya dengan memegang sebuah rubrik yang sudah sama di semua sisinya.
“Iya.” Luhan mengangguk biasa.
“Berapa lama?”
“Em...” Luhan menimbang nimbang, “Dua menit, satu menit.”
“Tunjukan pada kami....” Donna mengambil alih Rubrik dari tangan Fred dengan paksa lalu mengacak acaknya, “Lakukan.”
“Tunggu dulu...” Kevin mengambil alih Rubrik yang hanya sekilas di pegang oleh Luhan itu, “Jika dia berhasil menyelesaikannya, apa yang akan kau berikan?”
Donna diam sejenak, “Aku beri satu ciuman.”
Seluruh ruangan gaduh.
“Asian boy.... lakukanlah.” Kevin menyerahkan kembali Rubrik itu.
Luhan menerimanya sambil tersenyum kecil, “Sudahlah... aku biasa melakukannya. Tak ada hadiahpun tak apa apa.”
“Jangan menolak! Siap.... mulai.” Ben menghitung waktu yang dihabiskan oleh Luhan dengan stopwatch yang ada di jam tangannya.
Luhan mulai mengerjakannya. Hanya saja lebih pelan daripada biasanya.
“Selesai! Ya! Satu menit lima detik.” Pekik Ben tepat saat Luhan menyelesaikan Rubriknya.
Donna mencium pipi Luhan tiba tiba.
Luhan sedikit tersentak dan jujur saja... dia ingat, dia berdarah asia. Bukan seperti itu budayanya.
“Waw waw waw.... apakah ciuman itu menyembuhkan kakimu?” si kembar Jhonny dan Dhanny kembali ke ruang tengah sambil memegangi Cupcake.
“Dari mana kalian dapatkan Cupcake itu?” Luhan balik bertanya tanpa mengingat apa yang baru saja terjadi.
“Dari si.. siapa?” Jhonny bertanya pada Dhanny, “Garden!” Dhanny menjawab asal, Jhonny menggeleng, “Bukan! Bukan Garden, em...” Jhonny menerawang sejenak, “Yard?” Dhanny menebak, “Bukan. Car... car... Parking! Park! Park, iya.. Park Yon siapa...” akhirnya Jhonny menemukan sedikit titik terang walaupun masih kurang tepat, Dhanny menggeleng pasrah.
“Park Hyeon Gi?” Luhan mencoba menebak.
“Bingo!” kata Jhonny Dhanny kompak, “Huh... Sulit sekali namanya.. Park Yon Gi.” Johnny menambahkan.
Luhan celingukan mencari cari sahabatnya itu, “Dimana dia sekarang?”
“Entahlah... dia datang membawa Cupcake ini. Lalu meletakkannya di meja makan. Kami minta beberapa dan dia membolehkan. Sungguh gadis Asia yang baik.” Celoteh Johnny.
Luhan bangun dan berjalan berjingkat jingkat menuju pintu depan. Tidak ada siapa siapa. Tapi melihat cupcake yang di bawa oleh si kembar Johnny Dhanny, itu adalah cupcake yang biasa mereka beli sepulang sekolah. Tapi kenapa Hyeon tidak mengatakan apa apa saat datang kerumahnya? Apa jangan jangan, dia melihat apa yang baru saja terjadi. Tapi kenapa?
-XOXOXOXOXOXO-
Hyeon berjalan pelan menuju rumahnya. Kejadian yang baru saja dilihatnya tidak bisa dengan mudah ia lupakan. Semua berputar berulang ulang seperti menghantuinya.
Hyeon tersenyum, “Gwencana...”
Ia berusaha menenangkan diri, lebih tepatnya menahan cairan bening itu keluar dari matanya, “Mwo? Untuk apa aku menangis.”
Hyeon berusaha tersenyum, kalau hal yang membuatnya sedih itu kembali teringat, ia segera mengingat janjinya dengan Luhan dua hari yang akan datang. Sudah lama mereka tidak ke Cafe itu. Banyak kejadian lucu di sekolah yang ingin dia ceritakan.
-XXXXXX-
Sehun menjalan pulang dengan malas. Tugas tambahan karena dia terlambat pagi ini membuatnya malas untuk melakukan semua hal. Essay tentang sahabat diketik dalam dua ribu kata.
“Yang benar saja, sahabat. Huh.” Kata Sehun pada dirinya sendiri.
Sebagai pelampiasan rasa kesalnya, ia menendang kaleng minuman yang sudah kosong hingga terlempar entah kemana.
“A!” pekik seseorang tak jauh dari tempat Sehun berdiri sekarang.
Sehun terperanjat, “Kaleng itu mengenai seseorang? Aku harap kepalanya.” Batin Sehun, “Mwo? Hyeon gi?!” Sehun lebih kaget saat melihat siapa yang terkena kalengnya, Hyeon memegangi lengan kanannya, “Hyeon gi-ya? Gwencana?”
“Ne... Gwencana...” jawab Hyeon.
“Mianhe...” kata Sehun dengan penuh rasa bersalah, “Jeonmal mianhe...” kata Sehun sekali lagi, “Ka-kau menangis?”
Hyeon mencoba menutup wajahnya dengan menunduk menghindari Sehun, tapi tetap saja Sehun mengikuti kemana wajahnya bersembunyi.
“Mianhe Hyeonnie...” kata Sehun dengan muka bersalah.
Hyeon mengusap bagian matanya, “Bukan salahmu Sehunna.”
Sehun terdiam sesaat, “Mianhe... tanganmu benar benar baik baik saja kan?” tanya Sehun sambil memeriksa lengan Hyeon yang tertutup jas.
Hyeon mengangguk.
“Kau mau pulang?” tanya Sehun.
“Mungkin.”
“Kenapa?”
“Sehunna? Apa kau sudah makan?”
Sehun menggeleng.
“Bagaimana kalau kita makan?”
-XXXXXX-
“Ku dengar kau masuk tim drama di sekolah?” tanya Hyeon saat selesai memesan makanan dan menyerahkan buku menu ke pelayan yang tidak penting untuk disebutkan ciri cirinya.
Sehun tertawa kecil, “Dari mana kau tahu itu semua?”
“Bellva.” Hyeon menjawab singkat, tapi tak lama di lanjutkan kembali, “Bellva juga masuk tim drama.”
Sehun yang awalnya tersenyum berubah menjadi datar, “Bellva juga masuk tim drama? Omo...”
Hyeon tertawa, “Kenapa? Kau takut di tendang?”
“Aku akan benar benar di tendang.” Kata Sehun sambil menatap keluar melalui etalase cafe sebentar lalu menatap Hyeon kembali, “Sehari sebelum pengumuman, dia berkata pada temannya ‘semoga aku masuk tim drama, aku benar benar menginginkanya’ lalu aku jawab ‘tidak mungkin. Kau lebih cocok jadi tim jagal.’ Oh tidak...”
Hyeon tertawa lepas, tak peduli beberapa pengunjung menatapnya. Melihat Hyeon tertawa, Sehun tersenyum.
“Pantas saja, beberapa hari ini dia melihatmu seperti ingin menerkammu. Ternyata seperti itu.” Kata Hyeon sambil menahan tawanya saat pelayan membawa nampan berisi pesanan mendekat ke arahnya.
“Thanks.” Kata Sehun saat Pelayan selesai menyajikan makanan di meja mereka.
“A... aku benar benar merindukan masakan korea..” kata Hyeon sebelum mulai makan.
“Aku juga.” Kata Sehun.
“Kau juga?”
Sehun mengangguk.
“Sejak kapan kau pindah ke sini?”
“Sejak aku lahir.” Kata Sehun sambil memulai makan.
“Waw, tapi bahasa koreamu bagus.”
“Tentu saja. Keluargaku memakai bahasa korea di rumah.” jelas Sehun.
Hyeon baru tahu semua itu.
“Tapi kau tak terlihat seperti orang asia.” komentar Hyeon.
Sehun melihat Hyeon sekilas, “Papaku Inggris, Eommaku yang korea. Kau salah, teman teman bilang aku tidak mirip orang Inggris sama sekali. Lebih mirip orang asia.”
Hyeon menyerngit.
“Bagaimana keadaan Luhan? Kamu tadi menjenguknya kan?” tanya Sehun.
Hyeon yang awalnya sudah mulai lupa dengan kejadian di rumah Luhan perlahan lahan menggerogoti pikirannya kembali, “O. Iya.. dia baik baik saja. Lebih baik malah.”
“Apa kakinya parah?”
Hyeon menggeleng, dan melanjutkan makannya.
Setelah selesai makan. Masalah lain datang. Hyeon dan Sehun bersih keras ingin membayar.
“Hei... anggap saja ini permintaan maafku.” Kata Sehun.
“Tidak, aku sudah memaafkanmu sejak sebelum masuk cafe ini. Aku yang mengajakmu makan jadi aku yang harus membayar.”
“Tidak, mana mungkin anak laki laki di traktir anak perempuan. Aku saja yang membayar.”
“Kau tidak pernah mendengar emansipasi. Aku saja Sehunna~.”
“Tidak Hyeonnie, sekali sekali tidak papakan? Aku saja...”
Perebutan siapa yang membayar tidak berhenti disitu. Pelayang yang menunggu di samping meja hanya bisa memasang muka masam karena menunggu dua orang di depannya bercekcok dengan bahasa yang tidak di mengertinya.
Setelah tak ada bahan lagi untuk membela diri, akhirnya Sehun yang berhasil memenangkan debat amatir ini. Sehun yang akhirnya membayar.
“Hahaha..” tawa Hyeon pecah saat keluar dari cafe.
“Kenapa?” tanya Sehun yang tertinggal beberapa langkah di belakang.
“Kau tak lihat bagaimana wajah pelayan itu?”
Sehun akhirnya tertawa juga.
“Mungkin sekali sekali kita bisa mengajarinya bahasa korea..”
“Benar juga.”
Langkah Sehun terhenti saat melihat toko yang baru buka hari ini.
“Buble tea...?” bisik Sehun tanpa mengalihkan pandangan dari toko itu, “Ayo...” Sehun menggandeng Hyeon untuk ikut mengantri membeli Buble tea.
“Kau suka buble tea?” tanya Hyeon dengan muka sedikit tidak percaya.
“Iya. Kenapa?”
“Aku juga.” Kata Hyeon sedikit bersorak riang, “Sejak kapan kau suka buble tea?”
“Sejak dulu. Aku dan temanku suka sekali membeli buble tea saat pulang sekolah.”
“Siapa temanmu? Chanyeol?”
“Bukan. Temanku saat kecil.”
“Dimana dia sekarang?”
Sehun terhenti, “Em? Sekarang? Entahlah... tapi aku rasa dia juga masih suka buble tea...”
“Mau pesan rasa apa?” tanya ibu ibu setengah baya saat Sehun dan Hyeon sampai di antrian paling depan.
-XXXXXX-
Luhan memegangi hpnya dengan perasaan tak karuan. Berulang kali ia menempelkan hpnya di telinga, dan tak ada jawaban dari seberang sana. Luhan akhirnya menyerah.
“Kemana kamu Hyeonnie?”
-XXXXXX-
Sampai di rumah, Sehun tidak langsung masuk ke kamar. Ia duduk di ruang keluarga sambil menatap langit langit ruangan itu dengan senyum yang tak terhenti sejak perjalanan pulang tadi.
“Tuan mau makan apa?” tanya pembantunya. Wanita tua, yang sudah menjadi pembantu senior di rumah itu. Maklum saja, wanita itu sudah merawat Sehun sejak kecil.
“Tidak. Aku sudah makan.”
“Baiklah kalau begitu, tuan.” Pembantu itupun pergi.
Sehun melepaskan jas dan mengendurkan dasinya.
Kriiing kriiing...
“Aku saja.” Kata Sehun saat salah seorang pembantunya mendekat untuk mengangkat telephon.
“Halo.”
“Halo.. Sehunna, kau sudah pulang?”
“Iya, ada apa eomma?”
“Maaf Sehunna, mungkin hari ini eomma akan pulang telat. Papamu juga, ada proyek besar yang harus ditangangi. Sementara persediaan kostum eomma terbatas, jadi..”
“Sudahlah Eomma, tak apa apa.”
“Sehunna?”
“Hem?”
“Kau kenapa? Apa kau sakit?”
“Tidak. Aku baik baik saja, lebih baik malah.”
“Biasanya kau marah kalau Eomma pulang telat.”
“Sekarang aku sadar Eomma, eomma bekerja juga untuk Sehun bukan?” bohong Sehun, sebenarnya ia bersikap seperti itu karena efek senang siang ini.
“O. Iya. Nanti malam, kau makan malam sendiri tidak apa apakan?”
“Tidak apa apa Eomma.”
“Ya sudah. Baik baik Sehunna.”
“Em.”
Setelah menutup telephon, Sehun mengumpat pelan. Menjadi anak desainer terkenal itu keberuntungan tersendiri, hanya saja menjadi anak yang kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja itu tidak pernah masuk daftar keinginan bagi Sehun.
-XXXXXX-
Sejak saat itu, semuanya berubah. Sekarang, banyak anak anak yang bermain ke rumah Luhan. Banyak yang mengunjunginya karena permainannya yang spektakuler beberapa hari yang lalu. Tapi Hyeon jarang mengunjunginya. Walaupun beberapa kali Hyeon berkunjung dan membawakan cupcake, tapi tak lama, beberapa anak populer datang dan keberadaan Hyeon tidak di perdulikan.
Hyeon merasa ada yang hilang dari hari harinya. Luhan yang selalu membuatnya tertawa kini sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Hyeon perlahan tidak mengkhawatirkan hal itu lagi. Ada Sehun yang biasanya pulang bersamanya. Membeli buble tea, atau sekedar menggoda pelayan cafe pertama kali mereka makan bersama dengan bahasa korea.
Begitu juga dengan Sehun. Ia yang sehari hari memasang joker face kini lebih sering tersenyum. Hidupnya sedikit berubah. Bukan bangun sarapan sekolah pulang les tidur. Tapi ada kegembiraan tak terduga di sela sela kehidupan biasanya. Berdua dengan Hyeon. Entah kenapa, rasanya sudah lama sekali ia menantikan saat saat seperti itu. Saat saat yang pernah ia lakukan sebelumnya. Beberapa belas tahun yang lalu tepatnya.