(pART 2) sEASON IN MY PARK : THE STORY BEGIN
“Dia bergerak dengan cepat menuju gawang, melewati dua pemain, tiga pemain, menerobos pertahanan belakang .... dan sebuah tendangan! GOOOOOOLLLLLLL!!!”
“Yaaaaay!!!” hampir setengah suporter yang mengisi stadion berdiri sambil mengangkat spanduknya tinggi tinggi.
“Kita menang!” pekik Hyeon sambil memeluk Bellva dengan erat.
Bellva juga melakukan hal yang sama. Rasa senang menyelimuti mereka semua. Sekolah mereka memenangkan champion ship tingkat pelajar tahun ini.
“Tunggu.” Hyeon melepaskan pelukannya, “Kemana dia?” Hyeon menyapu seluruh sisi lapangan. Mencari seseorang. Tapi tidak ada.
“Sudahlah... mungkin dia ke ruang ganti.” Bellva mencoba menenangkan sahabatnya itu, walaupun dia sendiri ikut ikutan mencari seperti apa yang dilakukan Hyeon.
“Mana mungkin, semua temannya masih disana. Dan, sebentar lagi penyerahan piala.” Hyeon semakin cemas. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan. Tapi tetap saja, yang di cari tidak ada.
Kemana dia?
-XXXXXX-
Tak jauh dari lapangan, tepatnya di box penonton. Seorang anak laki – laki menatap datar ke hasil jepretan kamera polaroid yang ada di tangganya. Seketika pandangannya beralih kesalah satu pemain yang bertanding hari itu. Menyeringai penuh arti.
“Jadi seperti itu kau sekarang?” batinnya.
Ia melirik anak perempuan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Tersenyum sekilas lalu meninggalkan box penonton sambil memasukkan tangannya ke saku celana tanpa sepatah katapun.
“Oi! Sehun! mau kemana?”
Tak ada jawaban.
-XOXOXOXOXOXO-
“Tuan Oh, kenapa anda pulang lebih awal dan tidak menghubungi kami? Kami khawatir terjadi apa apa dengan anda.” Kata Jason, kepala pelayang yang sudah bekerja pada keluarga Oh sejak Sehun masih kecil.
“Aku sudah tujuh belas tahun hidup disini. Tak mungkin aku kesasar.” Kata Sehun dengan nada datar sambil menaiki tangga satu satu menuju kamarnya.
“Apa anda memerlukan sesuatu?” tanya Jason.
“Tidak.” Jawab Sehun sambil terus menaiki tangga.
“Baiklah.”
“Ya! Jason! Apa Mama dan Papa sudah mengabari kapan mereka pulang?” tanya Sehun sambil mendongak ke bawah, ketempat pelayan setianya itu berdiri.
“Be-belum tuan. Mungkin satu bulan lagi.”
Sehun menarik nafas panjang lalu kembali menaiki tangga menuju kamarnya. Setelah pintu terbuka ia langsung melemparkan tasnya ke meja belajar dan membanting diri di tempat tidur.
“Pabo...”
Ia melihat langit langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Dddrrrttt ddrrrttt.
Hpnya bergetar. Sehun sontak bangun dan merogoh ponselnya yang ada di saku celana.
“Halo...”
“Sehunna...”
“Chanyeol? Ada apa?”
“Kau dimana?”
“Di rumah.”
“Hehe...”
“Kenapa kau tertawa?”
“Apa kau sedang sibuk?”
“Apa kau pernah melihatku sibuk?”
“Berarti jawabannya tidak.”
“Lalu kenapa?”
“Hehe...”
“Aku tutup telephonnya kalau kau hanya tertawa. Bye~”
“ANDWE!”
“Ada apa?”
“Mobilku mogok di tengah tengah jalan tol. Tapi tidak ada yang bi..”
“Tunggu. Aku kesana.” Sehun segera bangkit meraih mantel yang tergantung di dekat meja belajarnya.
Sehun tidak pernah menolak kemanapun Chanyeol mengajaknya. Mungkin karena ia teman sebangkunya dan juga mereka sama sama berdarah asia. Tapi tidak hanya itu. Chanyeol adalah satu satunya anak di sekolahan yang dekat dengan Sehun. Walaupu banyak anak dari keluarga kaya yang membentuk genk di sekolah, tapi Sehun tidak tertarik untuk menjadi salah satu anggotanya. Ia juga jarang tersenyum kepada siapapun –kecuali Chanyeol- walaupun ada lelucon yang sangat lucu sekalipun.
Sehun segera menghidupkan salah satu mobil yang terparkir di garasi. Kemudian melesat ketempat dimana Chanyeol menunggu. Tidak sampai setengah jam ia sampai ke tempat tujuan. Di sana Chanyeol sudah menunggu sambil bersandar di sisi mobil.
“Kau mau kemana sih?” tanya Sehun setelah keluar dari mobilnya.
“Aku hanya mengecek mobil ini. Apa sudah benar benar bisa dipakai bepergian jarak jauh atau tidak.”
“Kau gila?”
Chanyeol hanya bisa memamerkan deretan gigi giginya.
“Bagaimana Sehunna? Kau bisa memperbaikinya?”
Sehun yang sedang berdiri di depan kap mobil yang terbuka melirik Chanyeol sekilas, “Kau kira aku montir? Ha?”
Chanyeol menggeleng.
“Sudah, tinggalkan saja. Jason sudah kuhubungi agar menyuruh orang menangani ini semua.”
Chanyeol membuka pintu mobil dan mengambil tasnya. Kemudian menuju Mobil Sehun.
“Kau mau kemana?” tanya Sehun yang sudah siap dengan kemudinya.
“Kau mau kemana?” tanya Chanyeol balik.
“Kemana saja. Asal jangan kembali kerumah.” Jawab Sehun.
“Mama Papamu belum pulang?”
“Pulang? Aku lebih tertarik bertanya kepada mereka apakah mereka masih ingat kalau mereka memiliki anak atau tidak dari pada bertanya kapan mereka pulang.”
“Waw.” Chanyeol tahu apakah dia harus diam atau bertanya lagi. Dia harus, diam.
Sehun mulai menghidupkan mesin mobilnya lalu mengemudi tanpa tujuan. Chanyeol hanya bisa menurut dengan apa yang dilakukan Sehun.
“Ya! Sehunna, aku masih belum percaya kalau sekolah kita memenangkan Championship.”
“Em.” Respon Sehun.
Karena sudah terbiasa dengan sifat Sehun yang seperti ini, Chanyeol melanjutkan pembicaraannya, “Kau tahu. Karena Luhan yang mencetak gol spectacullar itu, kita bisa menang. Wah... andai aku membawa handycamku. Aku bisa merekamnya dan memasukkannya ke youtube. Mungkin akan ada banyak orang melihatnya.”
Hening beberapa saat.
“Pasti channel youtubeku lebih bombastis dari pada para boyband asia yang sedang mengeluarkan music video baru mereka. Ya! Sehunna...”
“Hem?”
“Jika kau kembali ke korea, apa kau mau jadi anggota boyband?”
Sehun hanya bisa tersenyum.
“Aku masih tidak bisa berfikir dengan jernih. Bagaimana satu band anggotanya bisa mencapai dua belas orang. Bukankah di panggung akan terlihat seperti orang tawuran? Benarkan?”
“Mungkin.”
“Tapi seru juga kalau dua belas orang tampil bersama. Mereka bisa bagi tugas. Aku lebih suka rapper. Ya. Rapper lebih keren. Kalau kau Sehunna?”
Sehun yang sudah kebal dengan khayalan Chanyeol yang selalu ngelantur entah kemana hanya bisa menanggapi dengan ikut ikutan ngelantur, “Main dance.”
“Ya. Itu juga bagus.”
“Lalu apa nama band kita?”
“Terserahlah.”
“Xonk? Tidak itu tidak keren. Xenk? Terdengar seperti kaleng pecah. X-man? Itu nama superhero. Apa nama yang bisa dibuat dari huruf E dan X?”
“Expired?”
“YA! Kau kira kita makanan awetan.”
“Exo?”
“Haha.” Tiba tiba sehun tertawa, “Seperti nama pesawat luar angkasa yang dipenuhi banyak alien.”
“Itu dia! Exo dari luar angkasa. Tidak seperti boyband lainnya. Kita berbeda kita dari luar angkasa.”
“Lalu, untuk apa kita kebumi? Menguasai bumi?”
“Mungkin. Tapi kenapa malah jadi dongeng anak anak. Ah! Sudahlah sehunna. Kita makan saja. Aku lapar.”
-XOXOXOXOXOXO-
“Annyeonghaseyo...” kata Hyeon dengan ramah ketika seorang perempuan membukakan pintu untuknya.
“O, Hyeon. Aku kira siapa. Masuk saja. Sejak pulang pertandingan dia hanya berbaring di tempat tidurnya.” Kata bibi Zhao dengan ramah seperti biasa.
“Hem, baiklah. Kamsahamnida, Zhao Ahjumma.” Hyeon memasuki rumah berarsitektur China itu. Maklum saja, pemilik rumahnya adalah orang asli China. Hanya saja, sejak anak pertama mereka lahir, mereka pindah dari China dan menetap di London. Sama seperti dirinya. Walaupun sedikit berbeda, dia dan Ayahnya pindah ke London setelah bercerai dengan Ibunya. Hari hari pertama Hyeon di London tak semudah yang ia kira. Dia baru berumur enam tahun dan harus menyesuaikan diri dengan hal hal baru. Ia tak punya teman. Kalaupun ada, mereka pasti akan saling menjauhi karena kendala bahasa. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Luhan suatu sore di sebuah taman bermain.
Hyeon duduk di balik semak semak sambil memeluk lututnya, dia menangis sesengukan saat melihat anak anak sebayanya bermain, tanpa terhalang bahasa yang berbeda.
“Apa yang kau lakukan disini? Apa kau menangis? Kenapa tak bermain dengan yang lain?” tanya seorang anak laki laki dengan bola di tangan kirinya dalam bahasa Inggris..
Hyeon mendongakkan kepalanya, menatap anak laki laki yang berdiri di dekatnya tak peduli dengan airmatanya yang terus mengalir “Mwo?! Pergi saja kau! Kau tak mengerti apa yang kukatakan!”bentaknya dalam bahasa Korea
“Ani, aku mengerti.” Luhan berjongkok di samping Hyeon, “Wae?”
Hyeon berhenti menangis, ia mengamati Luhan dengan hati hati, “Apa yang kau katakan?” Hyeon mengerjapkan matanya seolah tak percaya ia baru saja mendengarkan bahasa korea.
“Wae.” Luhan mengulang kata katanya sambil berfikir apa ada yang salah dengan ucapannya, dia rasa tidak.
Hyeon berkedip beberapa kali, berusaha meyakinkan diri kalau dia tidak sedang bermimpi.
“Kamu baik baik saja?” Luhan bingung melihat perubahan pada ekspresi Hyeon.
Hyeon mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Kenapa kau menangis?” Luhan bertanya pada Hyeon yang masih saja menatapnya.
Tanpa berfikir untuk menjawab pertanyaan itu, Hyeon mendekat. Memeluk Luhan yang masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Gomawo...” bisik Hyeon.
“Don’t mention it.”
Hyeon melepas pelukannya, “Kau baik.”
“Kau mau bermain?” Luhan menawarkan bola yang ia bawa dari rumah.
Sejak saat itulah Luhan menjadi akrab dengan Hyeon. Luhanlah yang mengajarinya bahasa Inggris. Bahkan bahasa lain di benua eropa ini. Mereka masuk di sekolah dasar yang sama, disekolah menengah yang sama pula.
Hyeon awalnya tidak mengerti bagaimana orang barat seperti Luhan bisa mengerti bahasa korea, tapi setelah tumbuh remaja ia tahu kalau sebenarnya Luhan bukanlah orang Eropa, melainkan orang Cina. Sama sepertinya, dari benua Asia. Tapi sampai saat ini, ia belum mengerti bagaimana Luhan bisa berbahasa korea di usianya yang sekecil itu tanpa sekalipun ia ke Korea.
Peristiwa 12 tahun silam itu membuat Hyeon tersenyum senyum sendiri. Sampai di depan kamar yang sudah tak asing lagi baginya, ia mengetuk pintu dan membukanya perlahan.
“Ya!! Apa yang kamu lakukan?!” bentak Hyeon saat mendapati sahabatnya tergeletak di tempat tidur dengan kaki kiri terbalut gips.
Yang merasa diajak bicara terbangun, “Aniyo... Gwencana...” kata Luhan singkat lalu kembali berbaring lagi.
“Apa ini sepatu bola model baru?” Hyeon mendekati kaki kiri Luhan lalu menyentuhnya di beberapa bagian, “Atau sepatu boot keluaran terbaru?”
“Andwe!!!!” Luhan terbangun dengan cepat tanpa menggerakkan kaki kirinya sedikitpun, “Jangan disentuh!”
Hyeon berhenti menjahili sahabatnya yang sepertinya benar benar merasa sakit. Iapun duduk di tepi tempat tidur, lebih tepatnya di samping kaki yang terbalut gips itu.
“Bagaimana bisa begini?” Hyeon meminta pejelasan Luhan bagaimana kakinya bisa seperti itu setelah memasukkan bola dengan spektakuler di stadion tadi siang.
“Kakiku terkilir, dan ada tulang yang bergeser.” Jelas Luhan sambil tertawa kecil setelah itu berharap sahabatnya tidak memarahinya karena ceroboh.
“Tapi, kau masih bisa ikut berfoto.” Kata Hyeon sambil mengeluarkan selembar foto dari dalam tasnya.
Luhan menerima foto itu dan tertawa, “Mereka memaksaku. Katanya ‘bagaimana kita berfoto dengan piala ini tanpa orang yang mendapatkannya’ sialan.” Luhan memberikan kembali foto itu pada Hyeon. Dan Hyeon pun mengamati foto itu sekali lagi. Melihat Luhan yang duduk di mimbar sambil tersenyum karena kemenangannya, tunggu! Dia tidak tersenyum, dia meringis menahan sakit.
“Derp face...” ledek Hyeon sambil menahan tawanya, “Kapan kakimu sembuh?”
“Tiga hari lagi. Kata dokter.”
“Tiga hari tanpa bola?” Hyeon menunggu jawaban Luhan dengan muka Evilnya.
“Ya. Itu lebih menyiksa daripada kakiku ini.” Jawab Luhan sambil tersenyum getir.
Hyeon melirik jam tangannya, “Sudah jam lima, aku harus segera menyusul Papa.” Hyeon bangkit dari duduknya, “Get well soon.” Hyeon menepuk gips Luhan pelan lalu berjalan meninggalkan kamar.
“Ya!! Park Hyeon Gi!”
Hyeon berhenti tepat di pintu, ia membalikkan badan menghadap orang yang baru saja memanggilnya.
“Tujuh hari lagi, cafe d’Osborn, jam setengah sembilan.” Kata Luhan dengan hati hati.
Hyeon menatap Luhan dengan penuh tanda tanya.
“Itu hari ulang tahunmu kan? Kau, harus mentraktirku.” Goda Luhan.
“Tentu saja.”
Luhan tersenyum saat pintu kamarnya tertutup perlahan.
-XXXXXX-
“Yaaaaay!!!” hampir setengah suporter yang mengisi stadion berdiri sambil mengangkat spanduknya tinggi tinggi.
“Kita menang!” pekik Hyeon sambil memeluk Bellva dengan erat.
Bellva juga melakukan hal yang sama. Rasa senang menyelimuti mereka semua. Sekolah mereka memenangkan champion ship tingkat pelajar tahun ini.
“Tunggu.” Hyeon melepaskan pelukannya, “Kemana dia?” Hyeon menyapu seluruh sisi lapangan. Mencari seseorang. Tapi tidak ada.
“Sudahlah... mungkin dia ke ruang ganti.” Bellva mencoba menenangkan sahabatnya itu, walaupun dia sendiri ikut ikutan mencari seperti apa yang dilakukan Hyeon.
“Mana mungkin, semua temannya masih disana. Dan, sebentar lagi penyerahan piala.” Hyeon semakin cemas. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan. Tapi tetap saja, yang di cari tidak ada.
Kemana dia?
-XXXXXX-
Tak jauh dari lapangan, tepatnya di box penonton. Seorang anak laki – laki menatap datar ke hasil jepretan kamera polaroid yang ada di tangganya. Seketika pandangannya beralih kesalah satu pemain yang bertanding hari itu. Menyeringai penuh arti.
“Jadi seperti itu kau sekarang?” batinnya.
Ia melirik anak perempuan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Tersenyum sekilas lalu meninggalkan box penonton sambil memasukkan tangannya ke saku celana tanpa sepatah katapun.
“Oi! Sehun! mau kemana?”
Tak ada jawaban.
-XOXOXOXOXOXO-
“Tuan Oh, kenapa anda pulang lebih awal dan tidak menghubungi kami? Kami khawatir terjadi apa apa dengan anda.” Kata Jason, kepala pelayang yang sudah bekerja pada keluarga Oh sejak Sehun masih kecil.
“Aku sudah tujuh belas tahun hidup disini. Tak mungkin aku kesasar.” Kata Sehun dengan nada datar sambil menaiki tangga satu satu menuju kamarnya.
“Apa anda memerlukan sesuatu?” tanya Jason.
“Tidak.” Jawab Sehun sambil terus menaiki tangga.
“Baiklah.”
“Ya! Jason! Apa Mama dan Papa sudah mengabari kapan mereka pulang?” tanya Sehun sambil mendongak ke bawah, ketempat pelayan setianya itu berdiri.
“Be-belum tuan. Mungkin satu bulan lagi.”
Sehun menarik nafas panjang lalu kembali menaiki tangga menuju kamarnya. Setelah pintu terbuka ia langsung melemparkan tasnya ke meja belajar dan membanting diri di tempat tidur.
“Pabo...”
Ia melihat langit langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Dddrrrttt ddrrrttt.
Hpnya bergetar. Sehun sontak bangun dan merogoh ponselnya yang ada di saku celana.
“Halo...”
“Sehunna...”
“Chanyeol? Ada apa?”
“Kau dimana?”
“Di rumah.”
“Hehe...”
“Kenapa kau tertawa?”
“Apa kau sedang sibuk?”
“Apa kau pernah melihatku sibuk?”
“Berarti jawabannya tidak.”
“Lalu kenapa?”
“Hehe...”
“Aku tutup telephonnya kalau kau hanya tertawa. Bye~”
“ANDWE!”
“Ada apa?”
“Mobilku mogok di tengah tengah jalan tol. Tapi tidak ada yang bi..”
“Tunggu. Aku kesana.” Sehun segera bangkit meraih mantel yang tergantung di dekat meja belajarnya.
Sehun tidak pernah menolak kemanapun Chanyeol mengajaknya. Mungkin karena ia teman sebangkunya dan juga mereka sama sama berdarah asia. Tapi tidak hanya itu. Chanyeol adalah satu satunya anak di sekolahan yang dekat dengan Sehun. Walaupu banyak anak dari keluarga kaya yang membentuk genk di sekolah, tapi Sehun tidak tertarik untuk menjadi salah satu anggotanya. Ia juga jarang tersenyum kepada siapapun –kecuali Chanyeol- walaupun ada lelucon yang sangat lucu sekalipun.
Sehun segera menghidupkan salah satu mobil yang terparkir di garasi. Kemudian melesat ketempat dimana Chanyeol menunggu. Tidak sampai setengah jam ia sampai ke tempat tujuan. Di sana Chanyeol sudah menunggu sambil bersandar di sisi mobil.
“Kau mau kemana sih?” tanya Sehun setelah keluar dari mobilnya.
“Aku hanya mengecek mobil ini. Apa sudah benar benar bisa dipakai bepergian jarak jauh atau tidak.”
“Kau gila?”
Chanyeol hanya bisa memamerkan deretan gigi giginya.
“Bagaimana Sehunna? Kau bisa memperbaikinya?”
Sehun yang sedang berdiri di depan kap mobil yang terbuka melirik Chanyeol sekilas, “Kau kira aku montir? Ha?”
Chanyeol menggeleng.
“Sudah, tinggalkan saja. Jason sudah kuhubungi agar menyuruh orang menangani ini semua.”
Chanyeol membuka pintu mobil dan mengambil tasnya. Kemudian menuju Mobil Sehun.
“Kau mau kemana?” tanya Sehun yang sudah siap dengan kemudinya.
“Kau mau kemana?” tanya Chanyeol balik.
“Kemana saja. Asal jangan kembali kerumah.” Jawab Sehun.
“Mama Papamu belum pulang?”
“Pulang? Aku lebih tertarik bertanya kepada mereka apakah mereka masih ingat kalau mereka memiliki anak atau tidak dari pada bertanya kapan mereka pulang.”
“Waw.” Chanyeol tahu apakah dia harus diam atau bertanya lagi. Dia harus, diam.
Sehun mulai menghidupkan mesin mobilnya lalu mengemudi tanpa tujuan. Chanyeol hanya bisa menurut dengan apa yang dilakukan Sehun.
“Ya! Sehunna, aku masih belum percaya kalau sekolah kita memenangkan Championship.”
“Em.” Respon Sehun.
Karena sudah terbiasa dengan sifat Sehun yang seperti ini, Chanyeol melanjutkan pembicaraannya, “Kau tahu. Karena Luhan yang mencetak gol spectacullar itu, kita bisa menang. Wah... andai aku membawa handycamku. Aku bisa merekamnya dan memasukkannya ke youtube. Mungkin akan ada banyak orang melihatnya.”
Hening beberapa saat.
“Pasti channel youtubeku lebih bombastis dari pada para boyband asia yang sedang mengeluarkan music video baru mereka. Ya! Sehunna...”
“Hem?”
“Jika kau kembali ke korea, apa kau mau jadi anggota boyband?”
Sehun hanya bisa tersenyum.
“Aku masih tidak bisa berfikir dengan jernih. Bagaimana satu band anggotanya bisa mencapai dua belas orang. Bukankah di panggung akan terlihat seperti orang tawuran? Benarkan?”
“Mungkin.”
“Tapi seru juga kalau dua belas orang tampil bersama. Mereka bisa bagi tugas. Aku lebih suka rapper. Ya. Rapper lebih keren. Kalau kau Sehunna?”
Sehun yang sudah kebal dengan khayalan Chanyeol yang selalu ngelantur entah kemana hanya bisa menanggapi dengan ikut ikutan ngelantur, “Main dance.”
“Ya. Itu juga bagus.”
“Lalu apa nama band kita?”
“Terserahlah.”
“Xonk? Tidak itu tidak keren. Xenk? Terdengar seperti kaleng pecah. X-man? Itu nama superhero. Apa nama yang bisa dibuat dari huruf E dan X?”
“Expired?”
“YA! Kau kira kita makanan awetan.”
“Exo?”
“Haha.” Tiba tiba sehun tertawa, “Seperti nama pesawat luar angkasa yang dipenuhi banyak alien.”
“Itu dia! Exo dari luar angkasa. Tidak seperti boyband lainnya. Kita berbeda kita dari luar angkasa.”
“Lalu, untuk apa kita kebumi? Menguasai bumi?”
“Mungkin. Tapi kenapa malah jadi dongeng anak anak. Ah! Sudahlah sehunna. Kita makan saja. Aku lapar.”
-XOXOXOXOXOXO-
“Annyeonghaseyo...” kata Hyeon dengan ramah ketika seorang perempuan membukakan pintu untuknya.
“O, Hyeon. Aku kira siapa. Masuk saja. Sejak pulang pertandingan dia hanya berbaring di tempat tidurnya.” Kata bibi Zhao dengan ramah seperti biasa.
“Hem, baiklah. Kamsahamnida, Zhao Ahjumma.” Hyeon memasuki rumah berarsitektur China itu. Maklum saja, pemilik rumahnya adalah orang asli China. Hanya saja, sejak anak pertama mereka lahir, mereka pindah dari China dan menetap di London. Sama seperti dirinya. Walaupun sedikit berbeda, dia dan Ayahnya pindah ke London setelah bercerai dengan Ibunya. Hari hari pertama Hyeon di London tak semudah yang ia kira. Dia baru berumur enam tahun dan harus menyesuaikan diri dengan hal hal baru. Ia tak punya teman. Kalaupun ada, mereka pasti akan saling menjauhi karena kendala bahasa. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Luhan suatu sore di sebuah taman bermain.
Hyeon duduk di balik semak semak sambil memeluk lututnya, dia menangis sesengukan saat melihat anak anak sebayanya bermain, tanpa terhalang bahasa yang berbeda.
“Apa yang kau lakukan disini? Apa kau menangis? Kenapa tak bermain dengan yang lain?” tanya seorang anak laki laki dengan bola di tangan kirinya dalam bahasa Inggris..
Hyeon mendongakkan kepalanya, menatap anak laki laki yang berdiri di dekatnya tak peduli dengan airmatanya yang terus mengalir “Mwo?! Pergi saja kau! Kau tak mengerti apa yang kukatakan!”bentaknya dalam bahasa Korea
“Ani, aku mengerti.” Luhan berjongkok di samping Hyeon, “Wae?”
Hyeon berhenti menangis, ia mengamati Luhan dengan hati hati, “Apa yang kau katakan?” Hyeon mengerjapkan matanya seolah tak percaya ia baru saja mendengarkan bahasa korea.
“Wae.” Luhan mengulang kata katanya sambil berfikir apa ada yang salah dengan ucapannya, dia rasa tidak.
Hyeon berkedip beberapa kali, berusaha meyakinkan diri kalau dia tidak sedang bermimpi.
“Kamu baik baik saja?” Luhan bingung melihat perubahan pada ekspresi Hyeon.
Hyeon mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Kenapa kau menangis?” Luhan bertanya pada Hyeon yang masih saja menatapnya.
Tanpa berfikir untuk menjawab pertanyaan itu, Hyeon mendekat. Memeluk Luhan yang masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Gomawo...” bisik Hyeon.
“Don’t mention it.”
Hyeon melepas pelukannya, “Kau baik.”
“Kau mau bermain?” Luhan menawarkan bola yang ia bawa dari rumah.
Sejak saat itulah Luhan menjadi akrab dengan Hyeon. Luhanlah yang mengajarinya bahasa Inggris. Bahkan bahasa lain di benua eropa ini. Mereka masuk di sekolah dasar yang sama, disekolah menengah yang sama pula.
Hyeon awalnya tidak mengerti bagaimana orang barat seperti Luhan bisa mengerti bahasa korea, tapi setelah tumbuh remaja ia tahu kalau sebenarnya Luhan bukanlah orang Eropa, melainkan orang Cina. Sama sepertinya, dari benua Asia. Tapi sampai saat ini, ia belum mengerti bagaimana Luhan bisa berbahasa korea di usianya yang sekecil itu tanpa sekalipun ia ke Korea.
Peristiwa 12 tahun silam itu membuat Hyeon tersenyum senyum sendiri. Sampai di depan kamar yang sudah tak asing lagi baginya, ia mengetuk pintu dan membukanya perlahan.
“Ya!! Apa yang kamu lakukan?!” bentak Hyeon saat mendapati sahabatnya tergeletak di tempat tidur dengan kaki kiri terbalut gips.
Yang merasa diajak bicara terbangun, “Aniyo... Gwencana...” kata Luhan singkat lalu kembali berbaring lagi.
“Apa ini sepatu bola model baru?” Hyeon mendekati kaki kiri Luhan lalu menyentuhnya di beberapa bagian, “Atau sepatu boot keluaran terbaru?”
“Andwe!!!!” Luhan terbangun dengan cepat tanpa menggerakkan kaki kirinya sedikitpun, “Jangan disentuh!”
Hyeon berhenti menjahili sahabatnya yang sepertinya benar benar merasa sakit. Iapun duduk di tepi tempat tidur, lebih tepatnya di samping kaki yang terbalut gips itu.
“Bagaimana bisa begini?” Hyeon meminta pejelasan Luhan bagaimana kakinya bisa seperti itu setelah memasukkan bola dengan spektakuler di stadion tadi siang.
“Kakiku terkilir, dan ada tulang yang bergeser.” Jelas Luhan sambil tertawa kecil setelah itu berharap sahabatnya tidak memarahinya karena ceroboh.
“Tapi, kau masih bisa ikut berfoto.” Kata Hyeon sambil mengeluarkan selembar foto dari dalam tasnya.
Luhan menerima foto itu dan tertawa, “Mereka memaksaku. Katanya ‘bagaimana kita berfoto dengan piala ini tanpa orang yang mendapatkannya’ sialan.” Luhan memberikan kembali foto itu pada Hyeon. Dan Hyeon pun mengamati foto itu sekali lagi. Melihat Luhan yang duduk di mimbar sambil tersenyum karena kemenangannya, tunggu! Dia tidak tersenyum, dia meringis menahan sakit.
“Derp face...” ledek Hyeon sambil menahan tawanya, “Kapan kakimu sembuh?”
“Tiga hari lagi. Kata dokter.”
“Tiga hari tanpa bola?” Hyeon menunggu jawaban Luhan dengan muka Evilnya.
“Ya. Itu lebih menyiksa daripada kakiku ini.” Jawab Luhan sambil tersenyum getir.
Hyeon melirik jam tangannya, “Sudah jam lima, aku harus segera menyusul Papa.” Hyeon bangkit dari duduknya, “Get well soon.” Hyeon menepuk gips Luhan pelan lalu berjalan meninggalkan kamar.
“Ya!! Park Hyeon Gi!”
Hyeon berhenti tepat di pintu, ia membalikkan badan menghadap orang yang baru saja memanggilnya.
“Tujuh hari lagi, cafe d’Osborn, jam setengah sembilan.” Kata Luhan dengan hati hati.
Hyeon menatap Luhan dengan penuh tanda tanya.
“Itu hari ulang tahunmu kan? Kau, harus mentraktirku.” Goda Luhan.
“Tentu saja.”
Luhan tersenyum saat pintu kamarnya tertutup perlahan.
-XXXXXX-